Beberapa waktu yang lalu, sekolah tempat saya mengajar
mengadakan pembagian rapor bayangan. Seperti pembagian rapor pada umumnya,
momen ini digunakan para guru untuk berinteraksi dengan orang tua murid. Guru akan
memaparkan kelebihan dan kekurangan anak didik selama mengikuti pelajaran di
kelas. Sementara orang tua murid biasanya menyampaikan keluh kesah mereka
seputar kegiatan belajar anak di rumah, juga masalah masalah yang kerap ditemui.
Lalu guru dan orang tua murid bersama sama mencari solusinya.
Pembagian rapor pun
dimulai, satu persatu orang tua mengambil rapor sambil membicarakan
permasalahan yang dihadapi anaknya. Tak berapa lama, tumpukan rapor di meja
saya semakin berkurang. Saya belum bisa tenang sebab ada satu orang tua murid
yang belum datang.
Saya sangat mengharapkan
kehadiran orang tua dari si fulan, sebut saja begitu, karena ada hal penting
yang ingin saya sampaikan, tentu saja ini berkaitan dengan anaknya. Tiba di
penghujung waktu, bapak si fulan akhirnya datang dan inilah saatnya, ucap saya
dalam hati.
Usai menyerahkan rapor
bayangan, saya langsung meminta waktu untuk berbicara sebentar. Syukurlah dia
menyetujuinya.
Maaf pak, mengenai
anak bapak ini, pada dasarnya dia mampu untuk menyelesaikan tugas tugas atau
ulangan yang kami berikan. Tapi kelihatannya dia agak malas membaca, “ jelas
saya.
Seraya memperhatikan
reaksi bapak itu, saya melanjutkan cerita dengan memberi contoh kejadian waktu
ujian tengah semester. Waktu ujian tengah semester yang lalu, anak bapak
mengalami kesulitan dalam menjawab soal. Saya perhatikan dari pelajaran pertama
yang diujikan, dia hanya memainkan pensil sambil mengamati teman temannya. Tidak
satu soal pun yang dia jawab sampai ujian terakhir. Kemudian setelah jam
istirahat, ada ujian lagi, untuk pelajaran berikutnya. Tapi ternyata anak bapak
mengerjakan soal ujian itu lebih lama, dan itu pun baru satu nomor yang dijawab.
“
Pada waktu itu saya
berbicara dengan serius, berharap agar sang bapak memahami permasalahan yang
dialami anaknya di kelas. Namun jawaban yang diberikan bapak bulan ini sungguh
diluar dugaan saya. Dia malah tertawa terbahak bahak sambil mengatakan, “ ah,
kalau begitu dia itu mirip saya bu guru, waktu kecil”
Saya sedikit tertegun.
Lalu saya ceritakan peristiwa lain tentang anaknya di kelas. Lagi lagi dia
tertawa. Ah, mungkin itu mirip juga dengan pengalamannya di masa kecil, tebak
saya.
Awalnya saya pikir,
dengan berdialog, kami dapat menemukan solusi untuk mengatasi masalah belajar si
fulan. Namun setelah mengetahui kalau perilaku si fulan ternyata mirip sekali
dengan bapaknya sendiri, saya
jadi tidak bisa berharap terlalu banyak.
Agaknya pepatah yang
mungkin sering kita dengar, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, ada
benarnya juga. Anak menjadi refleksi atau cerminan orang tuanya. Bila seorang
anak berperilaku begitu baiknya, lihatlah orang tuanya. Atau jika kita mau tahu
bagaimana perilaku kita sewaktu kecil, maka lihatlah anak kita. Ini sebuah
pelajaran buat saya.
Sumber ummi edisi
maret 2008
0 komentar:
Posting Komentar