Teori tentang selalu berpikir positif dan
pemahaman mengenai pandai bersyukur sudah banyak ku pelajari. Bahkan sejak aku
masih kuliah dan aktif di seluruh badan dakwah kampus. Rasanya bekalku ketika
menghadapi pernikahan kuanggap sudah lebih dari cukup. Aku sudah menyiapkan
hati, jiwa, raga dan materi
Namun, ujian Allah memang tidak disangka
sangka. Aku mendapatkan cobaan terberat dari seluruh perjalanan hidupku.
Kelahiran anak pertama yang sangat kunantikan ternyata awal dari serangkaian
ujian ujian yang harus aku lalui. Mungkin sepanjang hidupku. Dan di sinilah aku
benar benar mempraktikkan banyak teori tentang kesabaran dan keikhlasan hati.
Mengetahui anakku memiliki kelainan down
syndrome ( keterlambatan mental ) aku tidak banyak lagi berharap kepadanya.
Dari mulai belajar “ menerima “ hingga pasrah dengan kondisinya. Aku yang
sebelumnya memiliki impian indah tentang pendidikan anak, melihat keadaan anak
kami, harapan itu pupus dengan sendirinya. Untuk selanjutnya urusan pendidikan
anak ini lebih banyak ditangani oleh istriku. Kupikir seberapa jauh yang
diusahakan pun kemampuannya memang di bawah rata rata.
Aku sadar tidak boleh berpikiran pesimis
begitu. Akan tetapi, pada kenyataannya mungkin aku terlalu kecewa dengan
keadaan anak kami. Suatu kali kami diundang sekolah Riza ( nama jagoan kecilku ) untuk menghadiri pentas seni. Awalnya aku
menolak datang, karena kupikir Riza tidak akan mungkin tampil. Teman temannya
yang normal dan pintar yang akan ditampilkan ( Riza sekolah di playgroup umum selain belajar di sekolah
anak berkebutuhan khusus ). Tapi istriku memaksa.
Karena tidak tega mengecewakannya, akupun
menyanggupi untuk datang. Ketika aku datang, acara sudah dimulai. Istriku tiba
lebih awal bersama Riza .saat dibacakan penampilan berikutnya adalah pembacaan
doa doa pendek dari kelas play group.
Aku hampir tidak percaya, Riza ikut berbaris
diatas sana. Kala tiba gilirannya, ia membacakan doa sebelum makan. Aku menahan
nafas. Takut terjadi kesalahan, atau dia tidak hafal. Kulihat dia terbata bata
dengan susah payah melafalkan bahasa arab, kemudian temannya membaca artinya.
Tanpa terasa air mataku mengalir. Dadaku sesak menahan haru yang sangat dalam.
Memang lafalnya tidak sejelas teman temannya, tapi kegigihannya menyelesaikan
bacaan surat serta keberaniannya untuk tampil sungguh membuatku terpukau.
Memang, bagi orang tua lain, kemampuan itu
adalah biasa. Namun bagiku, menatap matanya yang berkejap kejap lucu, terkadang
melirik ke samping panggung mencari sosok guru nya atau istriku, benar benar
luar biasa indahnya. Kuhampiri Riza di belakang panggung. Kupeluk dia erat erat
dan ku bisikkan pujian bangga padanya. Entahlah, dia paham atau tidak. Yang
pasti dia tampak bahagia mendapat ku ada di dekatnya saat itu.
Aku memohon ampun sebesar besarnya kepada Allah
atas kekhilafanku menganggapnya kecil dan meremehkan kemampuannya. Sejak saat
itu, aku aktif mendidiknya. Upaya istriku untuk membuka mataku bahwa dia punya
potensi jika diasah , mampu hidup normal
jika kita jeli dan telaten mengarahkannya, ternyata berhasil.
Riza adalah anugerah Allah yang diamanahkan
kepada kami. Itu berarti kami adalah orang tua terpilih karena dipercaya
merawat anak istimewa sepertinya. Senantiasa terngiang kata kata istriku di
telinga. Dengan segala kekurangannya pasti ada kelebihan yang Allah karuniakan
Sumber: majalah ummi edisi juli 2008
0 komentar:
Posting Komentar