Dilihat dari pemahaman
dan Perjalanan hidup, saya dan istri memang agak berbeda sedikit. Saya lebih
tua 10 tahun dari istri saya, tapi itu tidak jadi masalah. Karena saya merasa
perkawinan itu terkadang untuk mengenali kekurangan diri saya sendiri dan
kekurangan istri saya. Ini dua duanya kurang. Makanya menikah itu banyak
pahalanya karena kita menyempurnakan diri dan memperbaiki diri sedikit demi
sedikit .
Buat saya, yang
namanya suami istri itu artinya kita telah jadi satu. Jadi semuanya harus
dibagi dua, pahitnya sepinya, lukanya, uangnya, capeknya. Kita juga tidur
bareng, ngobrol bareng, cubit cubitan, ngambek. Semua itu kita bagi berdua. Untuk
urusan makan saja, kadang kadang saya minta disuapin sama istri.
Tapi akhir akhir ini
saya akan lebih banyak di luar, jadi jarang ketemu sama istri. Makanya kita
manfaatkan waktu semaksimal mungkin. Saya sms, telepon. Terkadang dia menangis,
kapan waktu buat dia, katanya. Saya bilang sabar saja selama ini kan doa kita. Dulu
saya dijuluki pangeran kas bon ( sering berhutang ), sekarang alhamdulillah
gilirannya rejeki gampang, itu memang harus disyukuri.
Kalau ada apa apa saya
ceritanya cuma sama istri. Kebetulan saya senangnya ngomong dan bercerita. Alhamdulillah
dia senang dengar saya cerita. Istri saya juga begitu, dia ceritanya ke saya.a
misalnya dia marah atau merasa tidak cocok sama saya, ya harus ceritanya ke
saya. Saya gak ngebolehin dia cerita ke orang lain, buat apa kan ada saya,
suaminya. Kalau nggak mau cerita ya diam, atau cerita ke Allah. Emang kesannya
saya agak keras tapi itu memang harus begitu.
Nggak semua hal kita
ceritakan. Istri saya masih punya rahasianya sendiri saya juga punya. Jadi tidak
semua itu harus diungkap, karena memang tidak perlu tahu saja, karena kita akan
mempertimbangkan baik buruknya kalau diceritakan, kedepannya bagaimana. Nah itu
kita tahu sama tahu saja,. Dia tahu kartu saya, saya juga tahu kartu dia. Intinya
sih kita sudah sama sama tau kartu masing masing.
Soal menjalani hidup
bersama, memang nggak mungkin orang itu sama atau cocok selalu. Makanya ada
yang namanya bijaksana, bukan bijaksini. Itu berarti ada pengerahan diri untuk
lebih mengenali dan lebih memahami pasangan kita di sana.
Bagi saya, istri itu
fasilitas saya untuk mendekat kepada Allah. Melalui pernikahan, tiba tiba saya
belajar menjadi guru, menjadi ustadz, belajar menjadi kyai, menjadi bapak, juga
belajar menjadi anak. Saya itu belajar kekurangan dari istri saya.
Ada maghfirah, pengertian yang banyak, ada juga rindu. (Opick)
Sumber: ummi edisi januari 2006
0 komentar:
Posting Komentar