I’tikaf di Bulan Ramadhan
Tak terasa Ramadhan akan segera datang, kita harus
mempersiapkan diri kita agarmemiliki mental yang siap menikmati hari-hari Ramadhan.
Sebaliknya, yang menganggap puasa sebagai beban, akan merasakan hari-hari
Ramadhan seperti siksaan: lapar, haus, dan capek.
Rasulullah menyinggung kelompok ini dengan
ungkapannya, “Betapa banyak o- rang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari
puasanya kecuali lapar. Betapa banyak yang melakukan qiyamul lail tak mendapatkan apa-apa kecuali begadang,” (HR Ahmad).
Ya, sekadar
lapar dan capek. Padahal, target puasa tak hanya mengangkat kita ke derajat
takwa. Selain menjadi muttaqin, ibadah Ramadhan juga seharusnya mengantarkan kita pada
dua ‘jabatan’ lainnya.
Pertama, menjadi orang yang bersyukur. Allah
berfirman,"Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al- Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu, dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur” (QS al-Baqa- rah: 185).
Melaksanakan
rangkaian ibadah di bulan Ramadhan adalah wujud syukur itu. Untuk itu, ibadah
yang harus diperbanyak di bulan berkah ini, bukan hanya puasa. Infaq, sedekah, shalat dan silaturahim merupakan runut ibadah
yang juga harus diperbanyak dari biasa.
Kedua, rangkaian ibadah di bulan Ramadhan ini juga
membimbing kita menjadi hamba yang akan mendapatkan petunjuk. Allah berfirman,
"Dan apabila
hamba- hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada- Ku, agar mereka mendapatkan rusyd (petunjuk)” (QS al-Baqarah: 186).
Berdoa. Itu
sarana kita menjadi hamba yang ingin mendapatkan petunjuk. Keberadaan ayat
tentang doa yang menyelinap di antara runtutan ayat shiyam
(puasa) ini bukan tanpa hikmah. Keberadaan ayat ini menjelaskan bahwa doa
termasuk hal yang harus mendapatkan perhatian besar pada bulan ini. Berdoa di
tengah rangkaian ibadah di bulan berkah, tentu berbeda ketika dilaksanakan di
bulan biasa.
Jika pada
hari-hari lain keberadaan Allah begitu dekat dengan hamba-Nya, maka pada
detik-detik di bulan Ramadhan, Dia semakin dekat. Begitu dekat melebihi urat
leher. Allah berfirman, "Dan sesungguhnya kami teiah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
dari urat lehernya” (QS Qaaf: 16).
Ramadhan tak
lama lagi segera ber- pamit. Untuk lebih khusyuk beribadah dan lebih banyak
berdoa, kita harus mendekat. Rasulullah saw mengajari
kita bagaimana mengakhiri Ramadhan dan mendekatkan diri kepada Allah.
Di antara
sunnah Rasulullah saw yang selalu
dilakukan pada paruh terakhir bulan Ramadhan adalah i’tikaf. Secara bahasa
i’tikaf berarti menetapi sesuatu dan menahan diri agar senantiasa tetap berada
padanya, baik berupa kebaikan maupun keburukan. Allah berfirman, uDan Kami
seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, setelah mereka sampai kepada
suatu kaum yang beri’tikaf (menyembah) berhala mereka,..." (QS
al-A’raf: 138).
Sedangkan
secara syar*i, i’tikaf berarti menetapnya seorang Muslim dalam masjid untuk
melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Para ulama sepakat, hukum
i’tikaf sunnah. Rasulullah saw senantiasa
melakukannya setiap tahun untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon
pahala-Nya. Terutama, pada hari-hari di bulan Ramadhan dan lebih khusus pada
sepuluh hari terakhir di bulan suci itu.
I'tikaf
hukumnya sunnah kecuali jika seseorang bernadzar untuk melakukannya. Hal ini
dijelaskan dalam hadits Umar bin Khaththab yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Disebutkan, Rasulullah saw tidak pernah
meninggalkan i’tikaf sejak tinggal di Madinah hingga akhir hayat.
Tempat
I’tikaf seharusnya masjid yang di dalamnya dilaksanakan shalat berja- ma’ah.
Allah berfirman, "Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri’tikaf dalam masjid," (QS al- Baqarah: 187).
Orang yang
beri’tikaf pada hari Jum’at disunnahkan beri’tikaf di masjid yang digunakan
untuk shalat Jum'at. Tetapi jika ia beri’tikaf di masjid yang hanya untuk
shalat jama'ah lima waktu saja, maka hendaknya ia keluar hanya sekadar untuk
shalat Jum’at (jika telah tiba waktunya), kemudian kembali lagi ke tempat
i'tlkafnya.
I’tikaf
disunnahkan kapan saja. Namun, yang paling utama adalah i’tikaf di bulan suci
Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir. Inilah waktu i’tikaf yang terbaik
sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, “Bahwasanya Nabi saw selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian para istri beliau beri’tikaf
sepeninggal beliau," (HR Bukhari dan Muslim).
Disunnahkan
bagi mereka yang beri’tikaf supaya memanfaatkan waktu sebaik- baiknya untuk
berdzikir, membaca al- Qur’an, mengerjakan
shalat sunnah, serta memperbanyak tafakur tentang keadaannya yang telah lalu,
hari ini dan masa mendatang. Juga memperbanyak merenungkan hakikat hidup dl dunia
ini dan kehidupan akhkat kelak.
Orang yang
beri'tikaf dianjurkan juga untuk menghindari hal-hal yang tidak bermanfaat
seperti banyak bercanda, mengobrol yang tidak berguna sehingga mengganggu
konsentrasi i’tikafnya. Karena i’tikaf bertujuan untuk mendapatkan keutamaan
bukan malah menyibukkan diri dengan hal- hal yang tidak di- sunnahkan.
Ada sebagian
yang beri’tikaf, namun meninggalkan tugas dan kewajibannya. Hal ini tidak dapat
dibenarkan karena sungguh tidak pantas seseorang meninggalkan kewajiban untuk
sesuatu yang sunnah. Karena itu, ia harus menghentikan i’tikafnya. jika
memiliki tanggungan atau kewajiban yang harus dikerjakan. Jangan sampai
i’tikafnya menyebabkan nafkah keluarga terbengkalai atau tugas wajibnya
terabaikan. I’tikaf itu sunnah dan tak boleh mengalahkan yang wajib.
Untuk itu,
orang yang beri’takif dibo- lehkan meninggalkan tempat i'tikafnya jika memang
ada hal-hal yang sangat mendesak. Di antaranya, buang hajat yaitu keluar ke WC
untuk buang air, mandi, keluar untuk makan dan minum jika tidak ada yang
mengantarkan makanan, dan pergi untuk berobat jika sakit.
Demikian
pula untuk keperluan syar’i seperti shalat Jum’at, jika tempat ia beri’tikaf
tidak digunakan untuk shalat Jum’at, menjadi saksi atas suatu perkara dan juga
boleh membantu keluarganya yang sakit, jika memang mengharuskan untuk dibantu.
Juga keperluan-keperluan semisalnya yang memang termasuk kategori dharuri
(keharusan).
Orang yang
sedang beri’tikaf tidak diperbolehkan keluar dari masjid hanya untuk keperluan
sepele dan tidak penting yang tidak bisa dikategorikan sebagai keperluan
syar’i. Jika ia memaksa keluar untuk hal-hal yang tidak perlu tersebut, maka
i'tikafnya batal. Selain itu, ia juga dilarang melakukan segala perbuatan haram
seperti ghibah
(menggunjing), tajassus
(mencari-cari kesalahan orang), membaca dan memandang hal-hal yang haram.
Pendeknya semua perkara haram di luar i’tikaf, saat i’tikaf lebih ditekankan
lagi keharamannya. Orang yanga beri’takif juga dilarang untuk menggauli
istrinya, karena hal itu membatalkan i’tikaf.
Orang yang
beri'tikaf dibolehkan menentukan syarat sebelum melakukan i’tikaf untuk
melakukan sesuatu yang mubah. Misalnya, ia menetapkan syarat agar makan minum
harus di rumahnya, hal ini tidak apa-apa. Lain halnya jika ia pulang dengan
tujuan menggauli istrinya, keluar masjid agar bisa santai atau mengurusi
pekerjaannya, maka i’tikafnya menjadi batal. Karena semua itu bertentangan
dengan makna dan pengertian i’tikaf itu sendiri.
I’tikaf
memiliki hikmah yang sangat besar yakni menghidupkan sunnah Rasul saw dan menghidupkan hati dengan selalu melaksanakan
ketaatan dan ibadah kepada Allah. Manfaat lain i’tikaf adalah untuk merenungi
masa lalu dan memikirkan hal- hal yang akan dilakukan di hari esok, rtikaf juga
mendatangkan ketenangan, ketentraman dan cahaya yang menerangi
hati yang penuh dosa.
I’tikaf
mendatangkan berbagai macam kebaikan dari Allah. Amalan-amalan kita akan
diangkat dengan rahmat dan kasih sayang- Nya. Orang yang beri'tikaf pada
sepuluh hari terakhir Ramadhan akan terbebas dari dosa- dosa karena pada
hari-hari itu salah satunya bertepatan
dengan lailatul qadar.
I’tikaf
merupakan sarana kita mendekatkan diri pada Allah dengan merangkai sehimpun
ibadah. Jangan sampai ketika Ramadhan berpamit kita justru sedang asyik dengan
segala aktivitas dunia yang melenakan.
0 komentar:
Posting Komentar